MUH ZAM BOHARI

Liputankaltim.com, Sangatta – Indonesia merupakan negara hukum tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dimana Indonesia menggabungkan beberapa system hukum di dalam konstitusinya. Pasal 1 ayat 3 ini mempunyai makna bahwasannya Indonesia adalah negara hukum yang pelaksanaan ketatanegaraanya dilaksanakan berdasarkan peraturan dan ketentuan yang berlaku.

Negara hukum sendiri berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh warga negara. Untuk Indonesia, negara hukum didasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa dan sumber dari segala sumber hukum, yang dimaksud adalah Hukum di Indonesia harus dilandasi dengan semangat menegakkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila. Adapun produk turunan undang-undang dapat berupa Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Instruksi Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dan berbagai peraturan lainnya.

Salah satu Pakar Hukum Nasional Pilus M.H Jon mengatakan bahwa Indonesia itu berkaitan erat dengan hukum pancasila, yaitu, adanya keserasian antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan, Hubungan fungsional yang professional antara kekuasaan Negara, prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sasaran terakhir, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dalam hal tersebut tidak berarti apapun ketika hal tersebut tidak diterapkan, oleh sebab itu dalam hal menjalankan peraturan tersebut, membutuhkan domain yang paham dan fokus pada bidang tersebut, yang dikenal sebagai penegakan hukum.

Penegakan hukum adalah sistem yang di dalamnya terdapat anggota pemerintah yang bertindak secara terorganisir untuk menegakkan hukum dengan cara menemukan, menghalangi, memulihkan, atau menghukum orang-orang yang melanggar undang-undang dan norma hukum yang mengatur masyarakat tempat anggota penegakan hukum tersebut berada. Walaupun istilah ini biasanya mencakup polisi, pengadilan, dan lembaga koreksi masyarakat, tetapi istilah ini biasanya dipakai juga untuk orang-orang (termasuk mereka yang bukan anggota kepolisian resmi) yang secara langsung terlibat dalam patroli dan pengamatan untuk mencegah atau menanggulangi dan menemukan aktivitas kriminal, dan untuk orang-orang yang menginvestigasi kejahatan dan menangkap pelaku kejahatan.

Baik secara individual atau dalam bentuk organisasi penegakan hukum, baik kepolisian maupun yang lainnya. Di dalam organisasi kepolisian terdapat unit-unit, misalnya: polisi yang menyamar, detektif, investigasi, gugus tugas tertentu (geng, obat-obatan, dll.) yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Walaupun penegakan hukum mungkin saja paling sibuk dengan pencegahan dan penghukuman atas kejahatan, namun organisasi penegakan hukum hadir untuk mencegah berbagai macam dan bentuk pelanggaran aturan dan norma yang tidak bersifat kriminal, yang dilakukan melalui pengenaan konsekuensi yang tidak terlalu berat.

Namun dewasa ini penegakan hukum, tak jarang dipenuhi dengan kejanggalan-kejanggalan dalam penerapannya yang bisa dibilang dalam hal ini Negara belum maksimal dalam penerapannya, contoh dalam hal menerima laporan lalu penindakannya yang dalam hal ini menjadi domain pihak kepolisian yaitu Polisi Republik Indonesia (Polri).

Perkembangan media dalam hal ini menguak kekurangan instansi Polri dalam menindak pelanggaran-pelanggaran yang ada, contoh banyaknya kasus yang tak tertangani, atau tak dieksekusi dengan baik, entah sengaja atau dalam ketidaksengajaan namun dalam hal ini merupakan hal vital yang bisa menurunkan citra Polri, seolah-olah abai pihak-pihak dibawah naungan Polri seperti Polres Sampai Polsek seperti tak mempedulikan pelanggaran-pelanggaran yang ada, atau tak serius dalam menanganinya.

Di bulan Oktober lalu ada kasus perundungan terhadap MS salah satu pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengalami perundungan tersebut sejak tahun 2015 sampai di tahun 2017 iya menceritakan bagaimana perundungan itu dilakukan oleh 5 rekannya sendiri yang sudah sangat berlebihan dalam pesan berantai yang membuatnya viral tersebut bahwa laporan yang ia layangan tidak digubris, namun dari pihak kepolisian mengklarifikasi bahwa sebelumnya belum ada laporan.

Selanjutnya kasus Novia Widya Sari baru-baru ini yang diperkosa dua kali dan dipaksa melakukan aborsi oleh kekasihnya yang merupakan anggota kepolisian, dan juga viral dengan hal yang sama sebelumnya bahwa laporan yang dilayangkan juga tak diterima namun kembali ditampik oleh Kombespol Humas Polri terkait hal tersebut, namun dalam hal ter sebut bisa digaris bawahi bahwa pelaku adalah anggota kepolisian itu sendiri.

Sebelumnya pada bulan November kasus pemerkosaan 3 orang anak di Luwu Sulawesi Selatan juga ikut viral menyusul dengan Project Multatuli baru-baru ini mengungkap kasus yang menggemparkan terkait Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dilaporkan memerkosa ketiga anak perempuannya yang masih kecil. Namun sayangnya, laporan tersebut yang diajukan ke polisi oleh ibu para korban pada 2019 silam malah ditolak. Tak tanggung-tanggung, pihak kepolisian malah menyebutkan bahwa laporan Project Multatuli hoaks dan belum terbukti kebenarannya, sehingga sempat memuncul tagar Percuma Lapor Polisi viral di media sosial.

Dalam hal ini seperti kasus, Pekerja KPI, Novia Widya Sari, Ibu yang tiga anaknya diperkosa dan kasus-kasus lainnya yang ditindak ketika kasus tersebut viral di media sosial, berdasarkan kasus-kasus tersebut pun menjadi tolak ukur masyarakat yang menganggap bahwa ini sebagai sebuah kegagalan dalam mengeksekusi sebuah kasus, bagaiman kemudian para korban tersebut menjelaskan pihak penegak hukum yang menerima laporan tak menerima dengan beberapa alasan.

Setelah kasus tersebut viral barulah kemudian kasus tersebut di tangani, hal tersebutlah yang merusak dan menciderai citra Polri walaupun hal tersebut belum tentu benar adanya diantara 3 kasus diatas namun harus tetap diperhatikan dan juga kita tidak melupakan kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh oknum, namun hal tersebut adalah salah satu kekurang bahkan kegagalan dalam hal menciptakan integritas Polri terhadap masyarakat, menimbulkan stigma dan kecurigaan masyarakat, bahwa sebelum adanya media sosial sudah banyak kasus-kasus yang diabaikan, sehingga anggapan bahwa “Viral Dulu Baru di Tangani” muncul dan dan sangat layak untuk dipercayai.

Dalam hal ini Polri harus memperbaiki hal tersebut, dengan melakukan evaluasi penuh terhadap institusinya dari atas hingga kebawah, dengan memperbaiki integritas para abdi negara tersebut, bahwa nilai-nilai utama Penegakan Hukum yang harus diperhatikan bahwa itu harus diterapkan kepada siapapun dan dari golongan manapun, selama ia adalah Rakyat Indonesia maka dia harus ditindak secara tegas dalam hal pelanggaran hukum.

Tak lupa juga dalam hal ini kita sebagai masyarakat tak sepenuhnya menyalahkan pihak berwajib, karna Polri didirikan dengan aturan yang baik dan terarah namun ada saja segelintir oknum yang merusaknya sebagai masyarakat kita harus tetap patuh terhadap hukum yang ada dan jangan menjadi salah satu dari pelanggar hukum tersebut, sebagai masyarakat kita punya kewajiban untuk menaati aturan yang ada demi keamanan dan kenyamanan bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *