Salma Nazhimah (Mahasiswa UINSI Kaltim)

Sensus penduduk tahun 2020 terbaru dari BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat bahwa jumlah umat Islam di Indonesia berada pada angka 86,88% dari jumlah penduduk sebesar 270,20 juta jiwa. Tentu presentase yang besar tersebut tidak menjadi momok menakutkan tentang masa depan Islam di Indonesia. Kaum mayoritas dengan dua ormas-ormas Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah, sejak awal terus berupaya untuk menghadirkan Islam yang ramah bagi apapun dan siapapun (rahmatan-lil’alamin), selama semua pihak saling menghormati perbedaan dan keragaman. Tetapi keragaman dapat menjadi “interegriting force” yang mengikat kemasyarakatan dan dapat menjadi penyebab terjadinya benturan antar agama, ras, suku, dan budaya. Perbedaan aliran pemikiran dan klaim kebenaran absolut atas masing-masing agama dan ideologi yang diyakini, tak jarang menyebabkan penghakiman tanpa daya nalar yang mengakibatkan pertumpahan darah bagi pihak lain yang tidak sepaham dengan perspektif mereka.

Mengulik catatan dan memperhatikan sikap keberagamaan dalam dinamika berbangsa belakangan, pemicu disharmoni masyarakat berasal dari kelompok-kelompok ekstremisme yang memahami Islam secara monolitik dan menolak ajaran Islam lokal dan spiritual dengan cara memunculkan interpretasi bahwa ajaran tersebut tidak murni serta sesat dan telah tercemar. Gerakan infiltrasi mereka ke berbagai bidang kehidupan umat Islam yang berusaha memusnahkan sikap toleran menjadi radikal dan keras, yang merupakan bukti nyata perusakan wajah Islam dan bertanggung jawab atas segala noda kekerasan, agresifitas, beringas, intoleran, dan berbagai pembunuhan karakter lainnya yang terjadi di negara ini. Sikap eksklusifitas dan menyalahkan tafsir dan pemahaman keagamaan lain, tentu kontra dengan esensi Islam yang tenteram dan menentramkan.

Tidak dapat disangkal pada era revolusi industri 4.0 yang kemudian saat ini sudah mulai dicanangkan memasuki era society 5.0 dimana kelebihan informasi menjadi tantangan terjal kedepannya. Pengaruh digitalisasi, khususnya media sosial menjadi ladang ranjau post truth (kebohongan yang diyakini sebagai kebenaran) dalam segala lini isu dan agenda yang menguntungkan kepentingan suatu kelompok dengan menggiring emosi dan perasaan masyarakat. Sehingga lebih mudah untuk menyusupkan pemahaman dan ajaran garis keras mereka dengan cara perlahan tetapi pasti.

Mengelola situasi dan dinamika keagamaan Indonesia yang digambarkan diatas, perlu ditumbuhkannya cara beragama yang terbuka (moderat), atau cara ber-Islam yang inklusif, yang kemudian disebut dengan sikap moderasi beragama. Sikap moderat dan moderasi pada intinya mengedepankan sikap tenggang rasa (toleransi), saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran masing-masing agama dan madzhab, sehingga peri kemanusiaan terjalin dan menjadi komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan paripurna mengatasi perbedaan yang bertujuan memecah belah masyarakat, bangsa, dan Negara. Dalam hal ini keberagaman (heterogenitas) dan keberagamaan (religiusitas) Indonesia.

Kaum cendekia (intelektual) yang merupakan tiang-tiang penopang masa depan negara, yaitu mahasiswa, hendaknya mulai membuka mata atas fenomena garis keras yang mengancam keamanan dan stabilitas NKRI serta ideologi Pancasila. Mahasiswa harus mampu bertindak sebagai agen of control, pencegah kelompok-kelompok yang menggerogoti keutuhan tubuh NKRI dari dalam dan perlahan dengan kemampuan intelektual dan transmisi keilmuan yang dimiliki. Jangan sampai kaum-kaum intelektual ini melibatkan hawa nafsunya dalam mengeksploitasi ajaran agama, inilah sebab pentingnya pemahaman kontekstual terhadap penafsiran ajaran agama, agar kita tidak berlebih-lebihan (ekstrem) dalam menjalankan syariat agama. Riset Setara Institut yang menyasar perguruan tinggi negeri di Indonesia. 10 perguruan tinggi baik PTN maupun PTKI terpapar paham radikalisme. Lantaran minim dan surutnya iklim forum-forum diskusi yang mengakibatkan mudahnya paham kelompok eksklusifitas tersebut berkembang. Tentu ini menjadi kemelut ditengah angin segar yang diharapkan digagas melalui insan-insan intelektual muda.

Diperlukan upaya nyata bersama mencegah kerisauan yang timbul akibat hidupnya kelompok ekstrim tersebut. Langkah strategis yang dapat dilegitimasi oleh kita sebagai mahasiswa, dapat dilakukan dengan lima cara berikut, yakni komitmen menjaga falsafah hidup bangsa, mengedukasi pemahaman masyarakat terkait konsep moderasi beragama, mencontohkan sikap toleransi terhadap sesama, menggencarkan wawasan kemajemukan bangsa (heterogen, multi aliran, multi etnis), melibatkan setiap individu untuk saling mengingatkan tentang kebenaran (wa tawashau bil-haqq) dan untuk selalu bersabar (watawashau bil-shabr).

Langkah dan upaya tersebut harus diaplikasikan demi terwujudnya semangat persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah), persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyyah), serta persaudaraan seagama (ukhuwah islamiyyah). Sebagai harapan dan penerus tongkat estafet kepemimpinan negara, hendaknya radikalisme dan ekstremisme dapat menyadarkan alam bawah sadar kita untuk tidak kaku secara pemikiran (fikrah) , semangat pada perbaikan jam’iyyah disertai terciptanya inovasi (harakah), dan bertindak nyata yang berlandaskan fiqh dan ushul fiqh (Amaliah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *