SANGATTA – Dokter dan tenaga kesehatan (nakes) di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur bakal mengikuti instruksi dari pusat terkait aksi mogok pelayanan sekitar 3 sampai 4 hari.
Demikian disampaikan oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kutai Timur, dr Didit Tri Setyo Budi pada Kamis (8/6/2023).
Hal itu, kata dia, tergantung pada keputusan atau perintah organisasi kesehatan yang berada di pusat.
Apabila di pusat akan menggelar aksi mogok pelayanan nasional, maka di Kutai Timur pun akan melakukan hal yang sama.
Meskipun mogok pelayanan nasional, beberapa pelayanan emergency masih dibuka. Tentu saja mogok nasional nanti diibaratkan seperti cuti lebaran.
Ketua IDI Kutai Timur, dr Didit Tri Setyo Budi, menyatakan, mogok pelayanan tidak dilakukan terhadap tindakan-tindakan emergency.
“Kami akan mengikuti instruksi dari pusat tanggal 14 Juni nanti itu ada aksi mogok pelayanan nasional selama kurang lebih 3 sampai 4 hari, kecuali tindakan-tindakan emergency,” ungkap Didit.
Sementara itu, ditambahkan oleh Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Kutai Timur, drg Dwi Agustina, mogok pelayanan tersebut hanya dilakukan pada pelayanan poli saja.
Adapun pelayanan emergency, ICU, rawat inap, dan instalasi gawat darurat (IGD) masih berjalan seperti biasa.
“Terkait mogok pelayanan kita di daerah hanya mendengarkan instruksi dari pusat saja,” imbuhnya.
Untuk diketahui, organisasi profesi (OP) di Kutai Timur termasuk memiliki tenaga kesehatan (nakes) terbanyak ke empat se-Kaltim.
Tentu saja, jumlahnya sebagai berikut:
– Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ada 250 orang;
kaltim
– Persatuan Perawat Indonesia (PPI) sebanyak 1500 orang;
– Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) sebanyak 47 orang;
– Ikatan Bidan Indonesia (IBI) sebanyak 897 orang;
– dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) hampir 150 orang.
Latar Belakang Mogok Nasional
Berita sebelumnya. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama para tenaga kesehatan lainnya mengancam akan melakukan mogok kerja nasional atau cuti pelayanan kesehatan jika DPR dan Pemerintah tidak menghentikan pembahasan RUU Omnibus Kesehatan.
“Setelah ini kami menginstruksikan seluruh anggota untuk mogok kalau pemerintah tidak menggubris dan tidak mengindahkan tuntutan kami hari ini,” kata juru bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Beni Satria di sela-sela aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (5/6/2023).
Adapun lima organisasi profesi yang menggelar aksi unjuk rasa menolak pembahasan RUU Omnibus Kesehatan itu yakni:
– Ikatan Dokter Indonesia (IDI);
– Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI);
– Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI);
– Ikatan Bidan Indonesia (IBI);
– dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
“Tentu kami sampaikan bahwa untuk pelayanan emergency, IGD [instalasi gawat darurat), kemudian ICU [Unit perawatan intensif], tindakan operasi emergency, itu tetap berjalan. Ini sama seperti cuti lebaran,” kata Beni mengenai ancaman aksi mogok dari para nakes itu.
Dalam aksi unjuk rasa kemarin para dokter dan tenaga kesehatan menyuarakan penolakan mereka terhadap RUU Omnibus Kesehatan yang tengah dibahas oleh Pemerintah dan DPR.
Selain membawa spanduk dan banner menolak pembahasan RUU Omnibus Kesehatan, para tenaga medis itu juga melakukan aksi teatrikal dengan membawa keranda dan manusia berkain kafan.
Kordinator lapangan aksi teatrikal yang juga seorang dokter bernama Trisna mengungkapkan aksi teatrikal tersebut sesuai dengan isi RUU Omnibus Kesehatan.
“Salah satunya memfasilitasi tenaga kesehatan luar negeri, namun menginjak tenaga kesehatan di Indonesia. Kemudian adanya keranda tersebut menandakan bahwa RUU tersebut membunuh secara perlahan tenaga kesehatan dengan pasal-pasal yang tidak berpihak,” kata Trisna.
Trisna juga menyinggung RUU Omnibus Kesehatan yang menuntut tenaga kesehatan untuk bisa menyembuhkan.
“Tenaga kesehatan itu bukan Tuhan bisa menyembuhkan. Kami hanya perantara, hanya berusaha menyembuhkan,” tegasnya.
Menurut Trisna, RUU Omnibus Kesehatan itu justru mengadu domba antara tenaga kesehatan dengan masyarakat.
“Jadi hal itu secara tidak langsung mangadu domba antara tenaga kesehatan dengan rakyat,” tutupnya.
Para dokter dan nakes mengaku telah melayangkan tuntutan kepada DPR sejak 28 hari lalu. Namun menurut mereka DPR tetap melakukan pembahasan tanpa melibatkan organisasi keprofesian.
“Karena tuntutan kami 28 hari yang lalu, tetapi pemerintah masih punya gunjingan bersama DPR untuk membahas itu tanpa melibatkan kami,” ujar Beni.
Ia pun mempertanyakan alasan di balik dicabutnya aturan terkait keprofesian baik kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, apoteker dan kebidanan yang digantikan oleh RUU Omnibus Kesehatan.
“Mengapa undang-undang eksisting profesi yang sudah mengatur seluruh organisasi profesi itu harus dihapuskan dan dicabut,” ujarnya.
Beni menilai muatan RUU ‘sapu jagat’ itu belum memberikan kepastian perlindungan terhadap tenaga medis dan kesehatan. Dalam RUU itu kata dia juga belum ada kejelasan terkait asas kesalahan dan kelalaian.
“Kemudian terkait asas kesalahan dan asas kelalaian yang tidak jelas dalam RUU, untuk itu kita minta hentikan stop pembahasan ini,” ujarnya.
Menurut Beni, RUU Kesehatan tersebut seharusnya mengakomodir perlindungan terhadap nakes dan medis.
“Masih tetap terjadi penganiayaan terhadap tenaga kesehatan, perawat, bidan dokter yang dianiaya dalam memberikan pelayanan kesehatan,” imbuhnya.
Sebelumnya Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi menilai RUU Omnibus Kesehatan yang tengah dibahas DPR itu tak memiliki urgensi.
Ia menilai seharusnya pemerintah lebih memperhatikan persoalan kesehatan di wilayah terpencil, bukan membuat aturan baru yang berpotensi bertabrakan dengan aturan lainnya di bidang kesehatan.
“Banyaknya jumlah regulasi ternyata tak berbanding lurus dengan kemampuan regulasi itu menyelesaikan berbagai persoalan,” kata dia.
Tak Dilibatkan Susun RUU
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah mengklaim tenaga medis dan kesehatan tak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Kesehatan. Ia juga menganggap RUU usulan DPR itu tak dibahas secara transparan.
“Belum tampak perbaikan dari perlindungan (hukum) bagi tenaga medis dan kesehatan dalam hal kontrak kerja,” ujarnya.
Sementara Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Noffendri Roestam menganggap RUU Kesehatan berisiko menimbulkan standar ganda dalam di antara organisasi profesi kesehatan.
“Masalah multi Organisasi Profesi (OP) yang berisiko menimbulkan standar ganda/multi dalam penegakan etika yang tentunya akan membahayakan keselamatan pasien di kemudian hari,” tegas Noffendri.